Ini adalah cerita pengalaman pertama saya menangani anak kejang demam.
Jangan panik!. Begitu biasanya langkah pertama menangani anak
kejang demam yang saya baca di beberapa artikel kesehatan. Orang dulu biasa menyebutnya dengan setep. Tapi, apa bisa?
Terlebih ini peristiwa pertama.
Tepatnya satu tahun lalu, saat
usia Inara, anak kedua saya, belum genap berusia setahun.
Malam sebelum peristiwa kejang,
badan Inara panas. Tapi tidak masuk kategori tinggi. Sekitar 37,8°C.
Biasanya, jika anak tidak rewel, saya biarkan dia melawan panas, sembari saya
gendong atau kompres agar anak nyaman. Alhamdulillah paginya, panas mulai turun
sendiri.
Saya pikir saat itu kondisinya
sudah membaik. Karena suhu sudah normal, anaknya juga sudah aktif. Berlarian
kesana kemari. Tapi ternyata anggapan itu salah. Suhu tubuhnya kembali naik.
Saat itu, kakaknya, minta
dijemput di sekolahan. Biasanya, mas Zafran diantar pulang sama yang biasa
jemput. Tapi hari itu, dia minta dijemput ibunya. Lagi kangen mungkin. Karena
sejak punya adik bayi, saya membayar jasa jemput untuk mas Zafran sekolah.
Pukul 11 kurang, saya berangkat. Siang
itu udara lagi panas panasnya. Inara saya gendong depan. Saat menunggu masnya
pulang, Inara tertidur. Saya pegang badannya panas. Tapi menurut saya gak
terlalu tinggi. Jangan ditiru, aksi kira-kira ini berakibat fatal.
Nah, Setelah sampai di rumah, dia
bangun. Langsung saya kasih ASI. Tak lama kemudian, seperti ada kejutan listrik
di payudara saya. Jedut! Saya pikir, Inara keselek ASI. Setelah saya
perhatikan, dia kejang. Kedua tangannya mengepal. Bola mata hitamnya naik ke
atas. Mulutnya terbuka. Tubuhnya kejang. Seperti kesulitan bernafas. PANIK!.
Tapi saya bersyukur masih ingat satu hal.
Lihat jam!!! Untuk memastikan dia
tidak kejang lebih dari 5 menit. Karena, jika lebih dari itu, berpotensi
terjadi kerusakan otak. Tubuhnya saya miringkan, karena saat itu, dia sedang
menyusu, takut kesedak. Tapi kejang terus berlanjut. Saya dekap dan gendong. Badanya
saya balik dan tepuk-tepuk punggungnya, agar sadar dan bisa bernafas. BERHASIL.
Inara tidak lagi kejang. Tapi belum menangis. Tubuhnya lemas, matanya merem. Saya
MULAI HEBOH!!.
“Dek, bangun dek!! Inara, bangun
dek!!”
Anaknya bergeming. Matanya masih
merem.
Saya lari ke tetangga buat antar
ke puskesmas terdekat. Beruntung ada tetangga sebelah yang bisa antar. Naik motor
dengan kecepatan super. Saat perjalanan ke puskesmas, mata Inara tetap merem!.
Saya pegang nadi lehernya masih berdenyut. Untung saya gak ikut pingsan.
Sesampainya di IGD puskesmas,
Inara langsung diberi obat penurun panas via dubur. Setelah diukur, suhu
badannya mencapai 39°C. itu setelah diberi obat tadi. Dokter jaga menduga, suhu
badan Inara lebih dari 40°C saat kejang.
Setelah itu, Inara mulai sadar.
Matanya sudah melek. Keluar BAB warna hijau. Sudah bisa eye contact. Saya berulang kali menanyakan pada dokter jaga apakah
Inara sudah sadar. Dokter bilang sudah.
Tapi saya baru bisa lega setelah
Inara bisa tepuk tangan saat digodai suster. Tak pernah saya sebahagia ini
lihat anak tepuk tangan ya Allah…
Lega……. Rasanya. Untung belum
terlambat.
Besoknya, saya langsung membawa
Inara ke dokter spesialis anak untuk mengecek kondisi Inara, sekaligus membuat
rekam medis. Saat itu, suhu tubuh Inara sudah normal.
Begini penjelasan dr. Fauzin,
Sp.A dari RS Mitra Keluarga Waru, Sidoarjo.
Kondisi Inara sudah pulih. Dokter
menyarankan untuk sedia obat panas, jika sewaktu waktu suhu tubuhnya naik lagi.
Tidak usah menunggu sampai tinggi. Karena sudah punya riwayat kejang.
Kedua, anak demam kemudian kejang
itu tidak apa-apa. artinya, bukan hal yang membahayakan, jika ditangani dengan
baik. Yang berbahaya justru, anak tidak demam, tapi kejang.
Ketiga, suhu tubuh anak kejang,
biasanya langsung tinggi. Tidak naik pelan-pelan. Kalau suhu tubuhnya naik
pelan-pelan, potensi kejang lebih sedikit. Tapi, karena sudah punya riwayat
kejang, saya disuruh waspada, karena sewaktu-waktu, bisa saja mengalami kejang
kembali.
Saya pulang dengan perasaan lega.
Meskipun masih tetap was was jika terjadi kembali.
Pengalaman menangani kejang demam
saya dapat dari Ibu saya.
Dua adik perempuan saya punya
riwayat kejang demam. Jadi, saya seperti sudah terbiasa melihat ibu saya
memberikan pertolongan pertama saat adik saya kejang. Waktu itu, adik saya usia
sekitar 2 tahunan. Usianya memang terpaut jauh dengan saya. saya sudah SMA.
Saat adik kejang, ibu biasanya langsung membuka baju adik saya, tubuhnya
dibalur minyak telon, sambil ditengkurapkan, sampai anaknya sadar dan menangis.
Kalau tak menangis juga, biasanya telapak kaki adik saya dislethik (disentil)
sampai nangis. Karena kalau sudah menangis, berarti dia sudah sadar dan bisa
bernafas normal.
Begitu cara ibu saya memberikan
pertolongan pertama. setelah sadar, baru dibawa ke dokter.
Saya tak pernah menduga, kejadian
itu bakal menurun ke anak saya. Saya pikir, anak ASI eksklusif, bakal terhindar
dari kejang demam. Tapi ternyata anggapan saya salah. Anak kedua saya, juga
mengalami hal yang sama.
Untuk mendapat informasi seputar
kejang demam, saya rekomendasikan blognya dokter Apin. Di sana ditulis lengkap
penanganan pertama anak kejang demam. Sila googling J
Kalau buibu, anaknya pernah kena
kejang demam? Sharing yuk…
Anak saya juga barusan kejang demam senin lalu. Ngeri banget liat kondisinya waktu kejang itu, bener-bener ga connect sama sekali ����
BalasHapusAkhirnya opname soalnya nggak bisa makan/minum.
Sekarang masih recovery, jadi belum seaktif dulu.
Pelajarannya ternyata sedia paracetamol untuk pertolongan pertama itu penting.
iya ngeri banget mas, biasanya sedia obat panas via dubur juga dirumah. aku lupa nulisinya hehe... semoga cepet pulih si kecil :-)
HapusAnak saya juga dulu pernah kejang demam. Adik saya juga. Kata dokter sih, bakat kejang bisa diturunkan. Kalo kejang demam dibawa ke RS, dokter pasti tanya, ada riwayat keluarga ga? Kami smp sedia stesolid, obat kejang.
BalasHapusiya mbak hani, kejang memang bisa diturunkan. kalau anakku dulu di sangoni juga obat kejang pas cek ke dokter. alhamdulillah gak sampai kepake sampai sekrang.
Hapus