Judul buku: Desperate Housewife
Penerbit: Boenga Ketjil
Penulis: Ferzah dkk
Tahun terbit: Maret 2020
Tebal: 205 halaman
Pernahkah kamu merasa putus asa? Berpikir bahwa hidupmu
paling tidak beruntung di dunia? Merasa gagal? Disepelekan? Atau terpuruk dalam
lembah hitam?
"Apa yang membuatmu tak mati akan menguatkanmu"
Begitu kira-kira gambaran keseluruhan dari buku ini. Membaca
200 halaman buku bersampul maroon ini, membuat saya ingin bangkit. Bahkan tanpa
perlu jatuh dulu. Ibarat lagu-lagu sang maestro Didi Kempot, yang mengajarkan
patah hati tanpa perlu jatuh cinta.
***
Desperate Housewives merupakan buku antologi yang ditulis
oleh 11 perempuan hebat dengan berbagai latar belakang. Guru, penulis,
wirausaha, jurnalis, ibu rumah tangga, pekerja kantoran, pekerja sosial.
Mereka adalah sekumpulam emak-emak yang punya peran ganda. Sebagai
ibu, istri, anak, bahkan ayah dalam satu waktu.
Berisi tentang kisah nyata perjalanan hidup. Ini bukan cerita
from zero to hero. Bagi saya, ini adalah kumpulan cerita perjuangan perempuan dengan
berbagai peran. Mencintai setiap prosesnya untuk terus menggapai mimpi. Sampai
saat inipun saya yakin mereka masih tetap berjuang dengan kadar masing-masing.
Perjalanan 11 perempuan tangguh dengan berbagai latar
belakang ini membuat saya paham bahwa kemampuan untuk berjuang itu bisa datang
darimana saja. Perjalanan masa lalu, orang-orang yang dicintai, bahkan
seseorang yang sudah meninggal pun bisa jadi pelecut semangat untuk maju.
Ah, saya membayangkan, menjadi orang tua perempuan-perempuan
hebat ini pastilah tidak mudah. Saya jadi kepikiran, metode parenting seperti
apa yang membuat para perempuan ini sebegitu ‘binal’nya melawan keras dunia.
Menjadi perempuan itu tidak mudah
Terlahir dengan jenis kelamin perempuan tidaklah mudah.
Apalagi tumbuh di dunia yang didominasi laki-laki. Meski semakin kesini,
perempuan makin terdidik untuk paham posisi, peran dan kemampuannya di segala
lini.
Tapi tetep saja, masih ada yang memberi stigma negatif pada
perempuan berkarier, tak punya anak, janda, ibu rumah tangga atau memutuskan
untuk tidak menikah. Apalagi di daerah. Tidak semua orang bisa dan mau menerima
perempuan dengan ‘cela’.
Alasannya bisa berbagai macam. Dogma agama, norma, dan
seabrek ‘kepantasan’ yang disematkan kepada perempuan.
Nah, cerita di buku ini mendobrak itu semua. Memotong batas ‘kepantasan’
seorang perempuan.
Ada yang berjuang untuk membangun bisnis, menggapai cita-cita
yang tertunda, ada juga yang menjalankan peran ganda sebagai ibu sekaligus
ayah, ada yang berulangkali dihantam kenyataan pahit berkeluarga, tapi terus
bangkit melawan itu semua.
Menjadi perempuan tidak pernah mudah. Selain berjuang untuk
diri sendiri, juga kerap kali dijadikan objek panutan yang tak boleh salah. Tak
bisa punya cela, dan harus tampak sempurna.
Hah!! Bedebah memang!
11 penulis dengan 11 cerita yang luar biasa. Saya sampai malu
sendiri membacanya. Berkaca pada diri sendiri, yang belum ada apa-apanya kalau
dibanding kisah emak-emak Desperate Houswivess ini.
Banyak peran, banyak konflik, penuh perjuangan di tiap peran
yang diemban. Bahkan, semuanya bisa dilakukan dalam satu waktu. Menjadi ibu,
ayah, istri, berkarir, tulang punggung, dan lain sebagainya.
Mereka ini adalah sekumpulan perempuan yang pernah putus asa.
Pernah jatuh, pernah berkubang lumpur. Tapi bisa bangkit dengan segala
keterbatasan. Bisa berdiri meski tak berkaki. Bisa berteriak meski cuma riak.
Perempuan itu istimewa
Setiap peran yang diberikan pada perempuan tidak akan selesai
pada dirinya sendiri. Ia juga berdampak. Pada sekitar. Untuk orang-orang yang
membutuhkan. Bahkan saat perempuan-perempuan ini juga memerlukan bantuan. Tapi,
begitulah perempuan. Kisahnya tidak berdiri sendiri. Selalu berimbas, sekecil
apapun itu.
Setidaknya, itu pesan yang saya baca di buku ini.
Seorang ibu yang juga pegiat rumah baca. Seorang single parent yang berbagi dengan
tulisannya. Seorang perempuan yang menemukan jalan hijrahnya. Seorang istri
yang sedang merintis usaha sekaligus membantu orang disekitarnya. Seorang
perempuan yang mengabdikan diri untuk kegiatan sosial. Ah, kamu musti baca bu.
Meskipun saya bacanya nyicil. Habis dalam dua kali duduk
dengan jeda sebulan. Wkwkwk.. harap maklum yes, saya juga emak-emak beranak dua
dengan segala drama.
Apa itu Desperate Housewives (DH)?
Desperate Housewives awalnya adalah sebuah komunitas yang
barangkali dibentuk karena iseng. Hehehe. Keisengan yang serius ya begini
jadinya.
Saya mengenal Desperate Housewives ini dari kawan lama. Seorang
senior saat masih menjadi kuli tinta. Ketemu lagi lewat laman facebook. Sama-sama
jualan online. Mbak Titik Andriyani. Salah satu penulis buku antologi ini.
Nah, Desperate Houswivess ini sebenarnya adalah kumpulan
kawan seperjuangan mbak Titik. Tapi kemudian berkembang. Siapapun boleh ikut
komunitas ini. Termasuk saya, yang masih elok-elok bawang (baru).
Kegiatan awal hanya sharing tulisan pengalaman pribadi di
fanpage. Kemudian berkembang ke banyak hal. Seperti penggalangan dana untuk
gempa bumi di Palu-Donggala.
Ada juga program Mom’s Time Out. Program ini menyasar ibu-ibu
yang kurang mampu. Tak punya waktu untuk sekedar me time. Jeda sejenak dari rutinitas keras yang musti dijalani. DH
mengajak ibu yang beruntung untuk jalan-jalan. Menikmati waktu yang sebentar
untuk sekedar melepas lelah dari rutinitas.
Ada juga program Belanja Kaget (Blenka). Program ini juga
untuk emak-emak kurang mampu seperti janda atau single parent.
Teranyar, ya project bikin buku antologi ini. Sayang, karena
miss komunikasi, saya gak bisa nulis di buku ini. wkwkwkw..
Fanspage Desperate Housewive |
Dan masih banyak lagi program-program yang akan ditelurkan
DH. Cuzz kepoin fanspagenya di facebook.
Kenapa Desperate Housewives?
“Kenapa tidak?!” begitu jawaban di prolog buku ini seperti
sudah mengerti bahwa para pembaca akan menanyakan pertanyaan serupa.
Kalau boleh menarik benang merah, para penulis disini punya
kisah yang sama. Mereka semua pernah putus asa. Tapi kemudian bangkit menjadi
pribadi yang utuh. Mencintai apa yang dikerjakan, menebar kasih sayang, sembari
menambal ruang-ruang kosong dalam dirinya, yang mungkin hilang saat berjuang.
Ibu-ibu putus asa ini telah memberikan gambaran bahwa
perempuan-perempuan yang sedang berjuang, dimanapun, bagaimanapun kondisinya,
tidaklah sendiri. Jutaan perempuan diluar sana juga sedang berjuang.
Ada yang sedang mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk
kebutuhan hidup, ada yang tengah mengalahkan ego dengan keluarga suami, ada
yang terus memupuk mimpi meski masih terlilit peran menjadi ibu dan istri, ada
pula yang berjuang untuk orang-orang terkasih.
Buku ini mengajarkan kita bahwa putus asa, lelah, hopeless,
patah semangat, bahkan hampir sekarat, itu bukan aib. Kita perempuan pernah
merasakannya, dengan kadar masing-masing. Membaca buku ini, sekali lagi,
membuat saya ingin selalu bangkit, tanpa perlu jatuh lebih dulu.
Sepertinya bukunya menarik. Apakah cocok dibaca oleh laki-laki bujangan seperti saya? ehehe
BalasHapuscocok, buat bekal saat bersanding nanti hahay...
HapusSepertinya seru cerita-ceritanya. Karena perempuan butuh menyalurkan uneg-uneg secara baik dan benar, curhat di buku menjadi solusi.
BalasHapusbetul mbak, salah satu cara berdamai dengan diri sendiri :-)
Hapusmakasih reviewnya
BalasHapussama2 mbak. semoga bermanfaat
HapusMenarik nih kak, lewat buku kita juga bisa curhat
BalasHapusyup. bisa lebih plong curhatnya
Hapus