foto: canva |
“Kok anaknya kurus bu?”
“Itu
anaknya nangis kok dibiarin aja?”
Pernah
denger yang kayak gini kan bu?! tos dulu. U
are not alone. Saya juga pernah mendapat perlakuan serupa. Perilaku ini
disebut mom shaming. Istilah ini
berarti merendahkan seorang ibu karena pilihan pengasuhannya berbeda dengan si
pengkritik. Bisa berupa sindiran, komentar dan kritik yang bersifat negatif.
Saya
sebenarnya agak kurang setuju dengan istilah ini. Karena bagi saya, sesuatu
yang berbau ‘shaming-shamingan’ ini selalu berdampak buruk bagi siapapun. Bapak,
anak, mertua, nenek, cucu, kang bakso, kang sayur, kang kuli bangunan.
Siapapun. Tapi memang dampaknya akan lebih dasyat bila dilekatkan pada ibu. Baik
secara fisik, maupun mental. Karena, tak hanya ibu, dampak mom shaming juga bisa berimbas pada anak. Lebih jauh lagi, pada
hubungan suami istri. Jika ini terus berlanjut, bisa berdampak buruk bagi
keberlangsungan rumah tangga.
Coba
bayangkan, ketika ibu badmood dengan komentar orang, kemungkinan besar mood
swing juga saat menghadapi anak. Anak, justru jadi rewel. Atau sebenarnya anak
gak rewel, tapi karena mood ibu kurang baik, apapun yang dilakukan anak, jadi
tampak amburadul. Tidak berhenti sampai disitu. Ibu juga seorang istri. Jika
dia sudah suntuk dengan kegiatan hari ini, suami datang, muka sudah acakadut.
Jangankan diajak ngobrol, disenyumin aja mlengos. Bapak-bapak yang punya istri
di rumah aja, mungkin akan ikut suntuk. Dan komunikasi dua arahpun terhambat.
Ambyar kan bu ibu…
Lebih
parah lagi, jika yang melakukan mom shaming adalah saudara atau orang terdekat
dengan kita. Suami, ibu, saudara perempuan, bulik, paklik, dan sederet nama
keluarga lainya. Apa gak tambah luar biasa penderitaan si ibu?! Saat ibu sedang
butuh dukungan, malah tidak ada satupun yang memeluknya.
Jadi,
memang harus hati-hati yang bu ibu. Apalagi saat bertemu dengan ibu baru. Kadang
kita yang sudah aware dengan mom shaming ini justru adalah pelaku. Padahal, ibu
baru sangat butuh dukungan dari semua pihak. Termasuk orang asing sekalipun. Bayangin
aja, si ibu baru lagi serius dengan cara pengasuhan, yang jelas-jelas sangat
baru bagi dia, eh ada yang nylonong “Itu putingnya kedalem, makanya anaknya
rewel”. Yup, rasanya seperti kesamber petir ya bu. meskipun amit-amit saya
belum pernah kesamber petir hehe…
Tapi,
sebenarnya, mom shaming ini gak baru-baru amat kok. Ibu saya dulu pernah
mengalaminya. Dan saya yakin, mbah, atau mbahnya ibu saya juga pernah berada di
situasi ini. Cuma istilahnya tidak sekeren hari ini. Seperti misalnya, ibu saya
dulu gagal menyusui saya dengan asi. Kenapa?! Gara-gara mbah saya bilang “asimu
ki kurang kapur” mungkin kok asinya bening gitu kali ya. Bahkan, ibu saya juga
mendapat perlakuan yang kurang lebih sama tentang asinya, oleh bidan yang
menanganinya. Gak boleh minum banyak air biar bayinya gak pilek dan sederet
pamali-pamali lain. Ibu pun akhirnya memutuskan untuk memberikan susu formula.
Tidak habis disitu. Selepas melahirkan, harus pakai bengkung yang siset, biar
bentuk tubuh gak mbleber kemana-mana. Waktu dicritain, saya cuma bisa membayangkan.
Gimana rasanya perut diiket sambil nyusuin. Wow bukan?!.
Nah,
karena saya juga pernah ngalamin shaming-shaming gini bu, ini ada tips dari
saya. Gimana menghadapi mom shaming. Ini mungkin berbeda dengan pengalaman
ibu-ibu yang lainya. Tapi mungkin bisa berguna untuk ibu-ibu di belahan bumi
lainya.
1.
Sadari
Sadari
bahwa setiap orang, terkhusus ibu, tidak pernah tidak mengalami mom shaming. Mom
shaming bahkan sudah ada sejak mbah saya, mungkin lebih tua dari itu, tapi beda
istilah. Menerima kondisi ini berfungsi agar kita lebih siap, gak kagetan, jika
sewaktu-waktu ada orang yang sengaja atau tidak melakukan mom shaming pada kita.
Kesiapan diri ini penting, agar kita bisa berfikir lebih waras setelah itu.
2.
Latih selera humor
Ibu-ibu
sepertinya musti punya selera humor yang tinggi. Ini sebenarnya sebagai bentuk
perlawanan atas tindakan tidak mengenakkan. Melawan dengan guyonan ini lebih
menyenangkan. Baik untuk saya, tapi tidak terlihat buruk untuk lawan bicara.
Seperti,
“bu, anakmu kok kurus? Gak suka makan ya?!”
“gak
kok bu, suka. Kadang beras, dedak, balungan, diemplok. Beling juga masuk”
Jika
lawan bicara kita punya level humor yang sama, saya akan tertawa bersama. Case closed.
Tapi
hati-hati, cara ini mungkin saja tidak berguna ketika lawan bicara kita tak
punya selera humor. Anda bisa saja dicap gak sopan atau kurang ajar. Ini akan
menjadi double mom shaming. Tapi bagi
saya, tiap orang punya selera humor kok. Yang bikin gak lucu mungkin
kondisinya, suasana hati atau perbedaan cuaca. Jadi, BMKG mungkin berguna untuk
melihat kondisi cuaca saat ini. Apasih hehehe…
3.
Stop membandingkan
Seringkali,
saya sendiri membandingkan pola pengasuhan anak dengan orang lain. Apalagi
sekarang zamanya media sosial. Segala macam model pengasuhan bisa dilihat dan
dicontoh. Kadang, saya secara tak sadar membandingkan diri sendiri dengan apa
yang saya lihat dan baca. Sungguh tampak sempurna. Influencer-influencer
tentang pengasuhan bertaburan di Instagram. They
look sooooo perfect. Stop it!!!
Saya
bahkan sempat unfollow influencer
yang menurut saya terlalu sempurna. Ini bukan saya julid ya bu. tapi sungguh,
saya jadi lebih ‘nrimo’ dengan kondisi anak saya. Ini penting, Karena tiap anak
berbeda. Jadi, sangat tidak salah, kitapun memperlakukan anak kita spesial
dengan cara kita. Tentunya terbaik yang kita bisa.
4.
Percaya diri
Percayalah,
kita adalah orang pertama dan utama yang mengenal anak kita lebih dari
siapapun. jadi, kitalah bu yang paling tahu apa yang terbaik untuk anak kita.
Mencari referensi boleh saja, perlu malah. Tapi, tetap keputusan ada di tangan
kita. Penting juga untuk membicarakan masalah pengasuhan dengan pasangan, biar
bisa saling menguatkan, jangan lupa pelukan ya pak…
5. Dengarkan
Dengarkan
saja apa yang sedang dilakukan pelaku mom
shaming kepada kita. Mereka sebenarnya sedang mencari ‘pelampiasan’ atas rasa
tidak aman atau rasa bersalah atas pengasuhan yang selama ini mereka lakukan. Dengan
mengkritik atau berkomentar buruk, seolah membuat mereka impas. Atau merasa
telah memperbaiki hal ‘kliru’ yang terlanjur mereka lakukan selama tahap
pengasuhan. So, marah kepada orang seperti ini kurang oke. lebih tepatnya,
kasian.
6.
Lupakan
Melupakan
apa yang didengar bahkan di depan mata memang bukan perkara gampang. Karena ini
butuh usaha lebih. Cara untuk melupakannya juga berbeda tiap orang. Saya,
biasanya dengan bermain bersama anak-anak. Membuat Do It Yourself atau DIY dengan kardus. Ini sangat membantu saya
melupakan hawa negatif dari apa yang terlanjut terlontar dari orang yang
mungkin saja tidak sadar sedang melakukan mom
shaming.
Yup, itu tadi bu 6 tips dari saya. Semoga
bermanfaat. Jangan lupa terus bahagia. Karena ibu bahagia pangkal keluarga sejahtera.
Buat ibu-ibu yang pernah ngalamin mom
shaming, atau yang belum ibu-ibu tapi pernah melihat kejadian serupa,
sharing yuk di kolom komentar?!
numpang share ya min ^^
BalasHapusHayyy guys...
sedang bosan di rumah tanpa ada yang bisa di kerjakan
dari pada bosan hanya duduk sambil nonton tv sebaiknya segera bergabung dengan kami
di DEWAPK agen terpercaya di add ya pin bb kami D87604A1 di tunggu lo ^_^